![]() | Today | 633 |
![]() | Yesterday | 843 |
![]() | This week | 2274 |
![]() | Last week | 4733 |
![]() | This month | 12485 |
![]() | Last month | 38135 |
![]() | All days | 935733 |
Membedah Irasionalnya Data Produksi Nasional |
JAKARTA-KAKAO INDONESIA. Data produksi kakao nasional selalu menjadi polemik. AIKI melaporkan di berbagai kesempatan jika produksi kakao nasional Indonesia pada tahun 2018 diprediksi merosot 250.000 ton. Sementara menurut Kementerian pertanian sekitar 600 ribu ton untuk tahun 2017. Lalu manakah data yang benar? Seharusnya dalam hal penyampaian data sebaiknya dilakukan secara official oleh Kementerian Pertanian yang menangani perkebunan. Tentu kurang elok jika AIKI atau ASKINDO yang notabene tidak berhubungan dengan on farm mengklaim memiliki data yang akurat soal produksi nasional. Namun pemerintah di sisi lain juga harus memberikan justifikasi ilmiah dari data yang diperoleh. Sehingga angka 600 ribu tidak dianggap data yang berlebih atau overestimate.
Hal yang harus disadari bahwa pendekatan pemerintah dan AIKI berbeda dalam menentukan angka nasional. AIKI melakukan berdasarkan pendekatan formal kapasitas terpasang pabrik ditambah ekspor dikurang impor, maka dapatkan angka seperti diprediksi AIKI. Meskipun pertanyaan besarnya adalah apakah perusahaan akan menyampaikan kapasitas terpasangnya secara transparan? Lalu apakah ini sudah memperhitungkan kakao yang keluar dari wilayah Indonesia melalui black market? Dari penelusuran data ekspor biji kakao dan turunannya antara tahun 2008 hingga 2015, diperoleh trend terjadinya peningkatan ekspor total setara biji sejak tahun 2008 sampai 2010. Kemudian menurun hingga mencapai titik terendah di tahun 2014, tetapi pada tahun 2015 meningkat lagi. Dewan Kakao Indonesia (Indonesia Cocoa Board) pernah melakukan analisa produksi kakao nasional dengan pendekatan terhadap produk intermediet dan olahan. Antara tahun 2010 sampai dengan 2015 terjadi penurunan tajam ekspor biji kakao, tetapi ekspor berupa produk olahan antara (intermediate) meningkat. Ekspor produk akhir (cokelat) relatif stabil. Pada tahun 2015, ekspor berupa biji kakao sebanyak 39,6 ribu ton, produk olahan antara (intermediate) sebanyak 671,7 ribu ton setara biji, dan produk olahan final sebanyak 7,3 ribu ton setara biji. Jika angka ekspor total setara biji dikurangi dengan angka impor total setara biji (yang merupakan angka ekspor bersih/net export) antara tahun 2008 hingga 2015, diperoleh kisaran antara 439,8 ribu ton (tahun 2014) hingga 657,4 ribu ton (tahun 2015). Dari akan tersebut menunjukkan bahwa tahun 2015 merupakan puncak ekspor bersih/net ekspor produk kakao dan turunannya dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Jadi menurut Dewan Kakao dari uraian di atas terlihat, tanpa memperhitungkan angka konsumsi dalam negeri, ekspor bersih kakao Indonesia antara tahun 2008 hingga 2015 berkisar antara 439,8 ribu ton (tahun 2014) hingga 657,4 ribu ton (tahun 2015) dan tahun 2015 merupakan puncak ekspor bersih/net ekspor produk kakao dan turunannya dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Mari kita lihat pendekatan lainnya. Saat ini luasan lahan kakao Indonesia adalah seluas 1,7 juta ha. Kita asumsikan 1 juta ha adalah tanaman kakao produktif. Maka dengan produksi 250 ribu ton produktivitas per ha adalah 250 kg per tahun. Dengan harga asumsi Rp. 30.000 maka pendapatan petani per ha adalah Rp. 7.500.000,-, atau setara Rp. 600 ribu per bulan. Pendapatan ini jauh lebih rendah dari pada pendapatan dari sawah dan tanaman hortikultura. Jika ini terjadi maka laju konversi akan semakin tinggi. Faktanya, di lapangan ada petani yang bisa mendapatkan produksi hingga 1 ton/ha tahun. Di Sulawesi, yang mayoritas masyarakat menjadikan kakao sebagai tanaman utama, angka 700 kg per ha masih bisa didapat. Jika di bawah angka itu maka perkebunan kakao tidak lagi memenuhi kriteria keekonomisan. Faktanya lainnya saat ini pengembangan kakao secara swadaya juga meningkat hal yang menunjukkan perkebunan kakao memiliki daya tarik ekonomi yang tidak mungkin dicapai dengan produksi kurang dari 500 kg/ha/tahun. Tapi kembali lagi soal angka produksi akan selalu menjadi polemik. Karena ini tidak sekedar menggambarkan fakta namun juga menyimpan aroma kepentingan dibaliknya. Isu besarnya adalah apakah Indonesia sudah seharusnya membuka keran impor karena defisit stok dalam negeri? Padahal di balik peningkatan impor juga berarti terbebasnya pihak-pihak tertentu dari tanggung jawab untuk membina petani dan membangun kemitraan karena industri bisa mendapatkan bahan baku dengan mudah dari luar negeri. |